Refleksi: Relasi Prinsip Ideologis Dengan Pemahaman Orientasi Eksatologis Manusia Dalam Apologi Survival

Heterogenitas tingkat dan karakteristik pemahaman masyarakat yang kemudian menjadi prinsip ideologis temporer mengenai orientasi hidupnya menciptakan heterogenitas pula dalam masyarakat dalam menjalani sisi-sisi kehidupanya. Hal tersebut yang kemudian menciptakan dinamika kehidupan masyarakat yang kompleks. Prinsip ideologis yang dipegang masyarakat disebut temporer karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berproses dan berkembang kemampuannya, begitu pula dalam tingkat pemahamannya yang senantiasa berevolusi dipengaruhi oleh pengalaman empiris-spiritual dalam hidupnya.

Realitas perjalanan hidup manusia yang kompleks dalam masing sisi-sisi kehidupannya, baik sisi ekonomi, sosial, politik, budaya dan lain-lain menjadi alasan yang cukup kuat dalam memilih prinsip ideologis temporer yang dianutnya.

Dalam konteks ekonomi, lebih dibatasi bahasannya bahwa sisi ekonomi sebagai proses survival manusia terhadap kehidupannya, menjadi alasan yang kuat untuk memilih prinsip ideologis yang berkaitan dengan orientasi hidupnya. Fitrah menciptaan manusia untuk survive terhadap eksistensi jasmani dan ruhaninya sebagaimana sunnatullah yang telah ditetapkan, manusia membutuhkan "makan" untuk menjaganya tetap ada. Kemudian fitrah penciptaan manusia sebagai mahluk psikologis, seperti dalam teori psychoanalisis-nya Sigmund Freud yang menyebutkan bahwa manusia adalah mahluk yang digerakkan oleh keinginan-keinginan terpendam (homo volenc) menggiring manusia untuk mengembangkan kebutuhan survivalnya tidak hanya sekedar "makan" saja, tetapi juga memenuhi kebutuhan "gaya hidup" sebagai tuntutan kesenangan sebagai entitas psikologis dalam dirinya. Kemudian sebagai mahluk ekonomi (homo economicus) manusia menciptakan kesepakatan dengan sesamanya sebagai mahluk sosial (homo socius) tentang bagaimana proses mendapatkan kebutuhan survivalnya, manusia mendapatkan kebutuhannya dan dari interaksi dengan sesamanya.

Kemampuan masing-masing manusia dalam proses survivalnya terhadap pemenuhan kebutuhan berbeda-beda sehingga dalam masyarakat dikenal terma "strata sosial". Terma "strata" pada hakikatnya merupakan fitrah penciptaan, yang mana setiap elemen-elemen penciptaan-Nya terdiri atas strata atau tingkatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ekonomi terdapat strata ekonomi baik dalam system-aplikatif dalam proses ekonomi maupun yang melekat dalam masing-masing manusia yaitu terhadap kemampuannya dalam ber-ekonomi yang diukur dalam tingkat kepemilikan finansial.

Dalam realitasnya pencapaian terhadap kebutuhan ekonomi membutuhkan perjuangan yang keras. Bagi manusia yang ditakdirkan atau sedang menempati strata ekonomi yang rendah, pemenuhan terhadap kebutuhan survivalnya terasa berat, bahkan terkadang hanya untuk pemenuhan kebutuhan survival pokoknya demi menjada eksistensi (nyawa)nya yaitu untuk makan saja susah. Kondisi demikian kemudian menjadi alasan untuk menjalani survivalnya dengan tindakan-tindakan ataupun profesi yang secara umum dalam kesepakatan penilaian manusia dianggap buruk dan hina. Dianggap buruk karena tindakan-tindakan atau sebagai profesi yang dilakukan manusia itu merugikan manusia lain, seperti mencuri, merampok, menipu, melacur dll. Dianggap hina karena profesi yang dilakukan manusia itu menduduki peringkat rendah dalam strata nilai-nilai yang dipahami manusia secara umum.

Kerasnya perjalan survival membuat manusia membuat manusia memilih prinsip ideologis baik yang bersifat materialistis maupun spiritualistis. Sebagian manusia hanya memilih pemahaman materialistis yang pragmatis dan tak mampu menjangkau pemahaman spiritualistis yang berketuhanan. Sebagian manusia yang berprinsip-idelologis materialisme melakukan tindakan-tindakan atau sebagai profesi yang dinilai buruk dan hina demi tuntutan survivalnya. Sedangkan sebagian manusia yang mampu mendapatkan pemahaman spiritualistis-berketuhanan melakukan tindakan-tindakan atau sebagai profesi yang dinilai baik walaupun menempati strata ekonomi maupun strata sosial yang rendah.

Prinsip-ideologis materialisme yang menjadi acuan manusia dalam proses survival manusia mengesampingkan bahasan ontologis yang dalam spiritual agama memuat sisi eksatologis (keadaan setelah akhir hidup manusia). Bahwa setelah akhir hayat manusia ada kondisi kehidupan lain dalam alam akhirat, dan pen-strata-an dalam alam kehidupan akhirat ditentukan oleh sang Pencipta sebagai estafet dari alam dunia materiil manusia. Strata kehidupan di akkhirat secara dasar terbagi menjadi dua, yaitu tinggi dan rendah, bahagia dan menderita, surga dan neraka. Sedangkan penentuan strata yang dinobatkan kepada setiap manusia mengarah kepada tindakan-tindakan manusia dalam menjalani proses survivalnya di alam materiil (dunia) yang bersifat nilai-nilai dan moral. Dalam fitrah penciptaan manusia Allah SWT telah memberikan pengetahuan nlai-nilai tersebut dalam diri manusia, dimana manusia secara naluriah bisa mengetahui antara yang baik dan yang buruk. Maka pen-strata-an manusia dalam akhirat pun linier dengan amal tindakannya di dunia. Manusia yang melakukan tindakan-tindakan baik akan mendapatkan strata yang baik (bahagia, surga) dan manusia yang melakukan tindakan-tindakan buruk akan mendapatkan strata yang buruk pula (menderita, neraka).

Berdasarkan hipotesis tersebut, apakah manusia-manusia yang memilih tindakan-tindakan buruk tetap dibenarkan dengan alasan pemenuhan kebutuhan survivalnya?
Powered by Blogger